Minggu, 19 Oktober 2014

PENDIDIKAN PEMUDA DAN KEPRAMUKAAN

PENDIDIKAN PEMUDA DAN KEPRAMUKAAN


KATA PENGANTAR
KONDISI dinamika kebudayaan dan karakter bangsa kita sekarang kini menjadi pandangan yang tajam oleh masyarakat. Kondisi itu dapat dilihat dari berbagai aspek kehidupan, yang tertuang dalam berbagai tulisan di media, wawancara, dan dialog di media elektronik. Selain di media massa, para pemuka masyarakat, para ahli, pengamat pendidikan, dan pengamat sosial berbicara mengenai persoalan budaya dan karakter bangsa di berbagai forum seminar, baik pada tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Persoalan yang muncul di masyarakat seperti korupsi, kekerasan, kejahatan seksual, perusakan, perkelahian massa, kehidupan ekonomi yang konsumtif,  kehidupan politik yang tidak produktif, dan sebagainya menjadi topik pembahasan hangat di media massa, seminar, dan di berbagai kesempatan lainnya. Berbagai alternatif penyelesaian diajukan seperti melalui peraturan, undang-undang, peningkatan upaya pelaksanaan dan penerapan hukum yang lebih kuat. Kondisi ini telah memperparah rusaknya karakter pemuda khususnya di Negara Indonesia. Tingkat degradasi moral dikalangan pemuda semakin hari semakin meningkat.
Makalah ini ditulis dengan tujuan untuk mengetahui sampai sejauh mana peran dan kekuatan Pramuka sebagai suatu badan organisasi nasional untuk membentuk karakter pemuda Indonesia. Selain itu, penulisan makalah ini juga untuk memenuhi tugas mata kuliah yang diampu oleh Drs. Heri Usodo, SE, M.Kom. Penulis menyadari bahwa banyak kekurangan dalam proses penulisan makalah ini, karena sebagai manusia yang tidak luput dari kekurangan. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun, demi semakin berisinya penulisan makalah ini.
Ngabang
Penulis
DAFTAR ISI
1.
KATA PENGANTAR
...............................................................
i
2.
DAFTAR ISI
...............................................................
ii
3.
BAB I
PENDAHULUAN
...............................................................
1 – 2
4.
BAB II
PERMASALAHAN
...............................................................
3 – 5
5.
BAB III
PEMBAHASAN MASALAH
...............................................................
6 – 11
6.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
...............................................................
12
7.
DAFTAR PUSTAKA
...............................................................
13
BAB I
PENDAHULUAN
            Pemuda adalah ujung tombak maju atau tidaknya sebuah kehidupan kaum atau sebuah bangsa. Pemuda adalah harapan dari sebuah perubahan kearah yang lebih maju dan positif dalam masyarakat. Mengapa pemuda dikatakan sebagai ujung tombak sebuah perubahan? Pada konteksnya, bahwa pemuda adalah orang-orang muda yang berusia diantara 18 – 35 tahun, yang memiliki tingkat produktif yang masih tinggi dan yang juga masih memiliki semangat dan daya juang yang lebih tinggi daripada orang-orang tua yang berusia diatas 35 tahun.  Karena faktor-faktor tersebutlah yang membuat pemuda bisa dan mampu melakukan apa saja, baik yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif. Pemuda yang memiliki keenergikkan yang lebih tinggi dari orang tua, memiliki tingkat ide-ide yang lebih cemerlang dan juga memiliki potensi-potensi yang luar biasa mampu melakukan sebuah perubahan yang luar biasa. Contoh ini ada pada peristiwa Rengasdengklok. Pemuda menculik Bung Karno dan Bung Hatta supaya lebih cepat memproklamasikan kemerdekaan Negara Indonesia.
            Namun dewasa ini, sebagian atau bahkan hampir rata-rata kaum muda sudah kehilangan identitas dan jati dirinya, sebagai bagian dari wajah Negara Indonesia. “Ujung Tombak” dari masyarakat dan negara semakin hari semakin tumpul dan mulai memudar warnanya. Konsep pemuda sebagai harapan bangsa kini sudah hampir tidak bisa lagi muncul dipermukaan. Ini dikarenakan semangat pemuda sudah goyah dan bahkan mungkin sangat sedikit lagi yang dapat diandalkan. Penulis melihat dan menemukan banyak sekali degradasi yang dihadapi oleh para pemuda, yang kesemuanya itu sedikit banyak dipengaruhi oleh globalisasi yang semakin menggila dan melindas setiap belahan dunia. Globalisasi merupakan koneksi global ekonomi, sosial, budaya dan politik yang semakin mengarah ke berbagai arah di seluruh penjuru dunia dan merasuk ke dalam kesadaran kita (Barker, 2004). Dengan memperhatikan opini diatas, penulis akhirnya berani menarik kesimpulan bahwa pemuda masa sekarang benar-benar telah kehilangan karakter dan jati diri hidupnya. Yang sudah jelas sekali terkuak bahwa globalisasi mempengaruhi segala aspek kehidupan pemuda. Mulai dari degradasi moral yang sukup jauh, gaya hidup Hedonisme dan individualisme yang cukup kuat. Konsep pemuda sebagai orang-orang yang sarat dengan semangat tinggi dan produktif untuk memajukan masyarakat, sepertinya sudah memudar.
            Nah, dari berbagai sudut inilah penulis mau mengkaji lebih jauh sampai sejauh mana degradasi ini menimpa pemuda. Dan bagaimanakah cara untuk mengupayakan pembangunan karakter pemuda saat ini, untuk mengembalikan makna sesungguhnya dari pemuda itu sendiri.
BAB II
PERMASALAHAN
Tak pelak lagi, kemodernan zaman telah melindas segala aspek-aspek penting kehidupan manusia. Perubahan zaman membuat membuat dampak dari berbagai sudut. Dampak ini bisa yang positif dan bahkan bisa negatif. Dunia modern banyak menawarkan kemudahan-kemudahan bagi manusia, mulai dari tekhnologi, audio visual maupun sumber konsumsi manusia. Namun kesemua itu ternyata banyak disalah artikan dan salah dimanfaatkan. Demikian pula dengan gaya hidup pemuda masa sekarang, yang kesemuanya banyak dipengaruhi oleh kemudahan-kemudahan itu. Pemuda tidak lagi berusaha untuk menempa diri menjadi yang terbaik dalam prestasi untuk membangun masyarakat dan negaranya. Namun berlomba-lomba untuk menampakkan diri dengan gaya hidup dan penampilan modern. Ada beberapa unsur yang membuat kekrisisan karakter pemuda dewasa ini yaitu: Degradasi moral dan sikap Hedonisme dari pemuda.
A.      Degradasi Moral
Sejarah telah membuktikan bahwa pemuda dan pelajar menjadi bagian paling dominan dalam menentukan perjalanan hidup suatu bangsa, tak terkecuali bagi Indonesia. Tetapi, berbagai hasil survei tentang pelajar dan mahasiswa telah memperlihatkan bahwa pelajaran mahasiswa sebagai bagian dari elemen bangsa yang terpenting telah mengalami degradasi moral. Disebutkan dalam hasil survei tersebut (di jogjakarta) bahwa hampir 60 % mahasiswi sudah tidak lagi virgin, hamil di luar nikah, belum lagi yang terlibat kasus narkoba, kenakalan remaja, dan tawuran antar pelajar/mahasiswa. Ternyata, nilai-nilai susila sudah tidak lagi menjadi yang utama dalam pandangan kaum muda saat ini. Seiring efek perkembangan teknologi dan infomasi di zaman globalisasi yang sangat signifikan dengan perkembangan jiwa generasi muda, hingga kecenderungan terjerumus ke lembah hitam. 75% dari generasi muda kita sudah terjebak dalam kehidupan bebas yang penuh dengan gemerlapnya penyebaran, penyelundupan dan pemakaian narkoba yang perlahan-lahan mengintai dalam proses penghancuran moralitas pemuda. Perkembangan pornografi dan pornoaksi seiring dengan krisis moral dalam arus individualisme, hedonisme dan penyalahgunaan kebebasan mengakibatkan lemahnya suatu bangsa. Terutama generasi penerusnya. Banyak faktor yang mempengaruhi degradasi nilai dan moral tersebut. pornografi dan pornoaksi memiliki tiga akar. Pertama kekosongan moral, yang membuat manusia mencari kepuasan individual. Kedua, manusia menyalahgunakan kebebasan tanpa tanggung jawab moral individual dan sosial. Ketiga, sebagai industri penggarap kelemahan manusia, khususnya kaum muda.
B.       Hedonisme
Menurut Wojowasito (2002) hedonis berasal dari bahasa Yunani yaitu hedone yang berarti kesenangan. Hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan hidup adalah tujuan utama. Sedangkan Sujanto (Sumartono, 2002) menjelaskan bahwa gaya hidup hedonis yang berorientasi pada kesenangan umumnya banyak ditemukan di kalangan remaja. Hal ini karena remaja mulai mencari identitas diri melalui penggunaan simbol status seperti mobil, pakaian, dan pemilikan barang-barang lain yang mudah terlihat.Gaya hidup hedonis merupakan wujud ekspresi perilaku eksperimental yang dimiliki oleh remaja untuk mencoba suatu hal yang baru. Perilaku eksperimental tersebut masih dipandang wajar apabila tidak memunculkan pola perilaku yang lebih dominan pada kesenangan hidup daripada kegiatan belajar. Hedonisme sebagai fenomena dan gaya hidup sudah tercermin dari perilaku remaja sehari-hari. Mayoritas pelajar berlomba dan bermimpi untuk bisa hidup mewah, berfoya-foya di kafe, mall, atau plaza. Ini merupakan bagian dari agenda hidup yang kemudian melupakan tugas utamanya belajar. Gaya hidup selalu mengalami perubahan seiring perkembangan zaman. Kehidupan yang semakin modern membawa manusia pada pola perilaku yang unik, yang membedakan individu satu dengan individu lain dalam persoalan gaya hidup. Bagi sebagian orang gaya hidup merupakan suatu hal yang penting karena dianggap sebagai sebuah bentuk ekspresi diri. Chaney (1996), berpendapat bahwa gaya hidup merupakan ciri sebuah dunia modern. Gaya hidup merupakan pola-pola tindakan yang membedakan antara satu orang dengan orang lain, yang berfungsi dalam interaksi dengan cara-cara yang mungkin tidak dapat dipahami oleh yang tidak hidup dalam masyarakat modern. Pada perkembangannya, gaya hidup saat ini tidak lagi merupakan persoalan di kalangan tertentu. Sebagaimana diungkapkan oleh Ibrahim (1997), setiap orang dapat mudah meniru gaya hidup yang disukai. Misalnya saja, gaya hidup yang ditawarkan melalui iklan akan menjadi lebih beraneka ragam dan umumnya dapat dilihat oleh semua orang sehingga mudah ditiru oleh setiap orang. Fenomena gaya hidup tampak terlihat di kalangan remaja, menurut Monks, dkk (Nashori, 1998) remaja memang menginginkan agar penampilan, gaya tingkah laku, cara bersikap, dan lain-lainnya akan menarik perhatian orang lain, terutama kelompok teman sebaya. Remaja ingin diakui eksistensinya oleh lingkungan sosial sehingga berusaha untuk mengikuti perkembangan yang terjadi seperti cara berpenampilan. Kebutuhan untuk diterima dan menjadi sama dengan orang lain atau kelompok teman sebaya menyebabkan remaja berusaha untuk mengikuti berbagai atribut yang sedang tren, misalnya saja pemilihan model pakaian dengan merek terkenal, penggunaan telepon genggam (HP) dengan fasilitas layanan terbaru, berbelanja di pusat perbelanjaan terkenal seperti mall daripada berbelanja di pasar tradisional atau sekedar jalan-jalan untuk mengisi waktu luang bersama kelompok teman sebaya dan sebagainya. Gaya hidup hedonis merupakan wujud dari ekspresi dari perilaku eksperimental yang dimiliki oleh remaja untuk mencoba suatu hal yang baru. Perilaku eksperimental tersebut masih dipandang wajar apabila tidak memunculkan pola perilaku yang lebih dominan pada kesenangan hidup dari pada kegiatan belajar. Hedonisme sebagai fenomena dan gaya hidup sudah tercermin dari perilaku mereka sehari-hari. Mayoritas pelajar berlomba dan bermimpi untuk bisa hidup mewah. Berfoya-foya dan nongkrong di kafe, mall dan plaza. Ini merupakan bagian dari agenda hidup mereka. Nah, dari pemaparan-pemaparan diatas sudah jelas bahwa pemudalah yang cenderung mengarahkan gaya hidupnya pada kenikmatan dan kesenangan. Fokus pemuda saat ini, lebih banyak mengarah pada pemuasan diri yang bersifat modern. Tidak lagi mempertimbangkan baik dan buruknya, melalaikan kewajiban dan tanggung jawab sebagai harapan bangsa.
BAB III
PEMBAHASAN MASALAH
            Degradasi moralitas cenderung menyerang para pemuda yang notabene sebagai ujung tombak pembaharuan dan kemajuan suatu bangsa. Semua disebabkan oleh dunia yang semakin hari makin sarat dengan perkembangan, baik dari informatika maupunn tekhnologi. Dewasa ini, nilai-nilai moralitas sudah tidak lagi dijunjung sesuai dengan budaya dan adat istiadat Timur, yang mengajarkan dan mengutamakan nilai-nilai moral dan  nilai-nilai perilaku. Pemuda Indonesia sudah jauh terbawa dalam kemodernan yang kerap kali menawarkan kemudahan-kemudahan dan kenikmatan duniawi. Beberapa faktor yang menjadi dasar degradasi ini adalah:
1.    Longgarnya pegangan terhadap agama. Sudah menjadi tragedi dari dunia maju, dimana segala sesuatu hampir dapat dicapai dengan ilmu pengetahuan, sehingga keyakinan beragam mulai terdesak, kepercayaan kepada Tuhan tinggal simbol, larangan-larangan dan suruhan-suruhan Tuhan tidak diindahkan lagi. Dengan longgarnya pegangan seseorang pada ajaran agama, maka hilanglah kekuatan pengontrol yang ada didalam dirinya. Dengan demikian, satu-satunya alat pengawas dan pengatur moral yang dimilikinya adalah masyarakat dengan hukum dan peraturanya. Namun biasanya pengawasan masyarakat itu tidak sekuat pengawasan dari dalam diri sendiri. Karena pengawasan masyarakat itu datang dari luar, jika orang luar tidak tahu, atau tidak ada orang yang disangka akan mengetahuinya, maka dengan senang hati orang itu akan berani melanggar peraturan-peraturan dan hukum-hukum sosial itu. Dan apabila dalam masyarakat itu banyak orang yang melakukuan pelanggaran moral, dengan sendirinya orang yang kurang iman tadi akan mudah pula meniru melakukan pelanggaran-pelanggaran yang sama. Tetapi jika setiap orang teguh keyakinannya kepada Tuhan serta menjalankan agama dengan sungguh-sungguh, tidak perlu lagi adanya pengawasan yang ketat, karena setiap orang sudah dapat menjaga dirinya sendiri, tidak mau melanggar hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan Tuhan. Sebaliknya dengan semakin jauhnya masyarakat dari agama, semakin susah memelihara moral orang dalam masyarakat itu, dan semakin kacaulah suasana, karena semakin banyak pelanggaran-pelanggaran hak, hukum dan nilai moral.
2.    Kurang efektifnya pembinaan moral yang dilakukan oleh rumah tangga, sekolah maupun masyarakat. Pembinaan moral yang dilakukan oleh ketiga institusi ini tidak berjalan menurut semestinya atau yang sebiasanya. Pembinaan moral dirumah tangga misalnya harus dilakukan dari sejak anak masih kecil, sesuai dengan kemampuan dan umurnya. Karena setiap anak lahir, belum mengerti mana yang benar dan mana yang salah, dan belum tahu batas-batas dan ketentuan moral yang tidak berlaku dalam lingkungannya. Tanpa dibiasakan menanamkan sikap yang dianggap baik untuk menumbuhkan moral, anak-anak akan dibesarkan tanpa mengenal moral itu. Pembinaan moral pada anak dirumah tangga bukan dengan cara menyuruh anak menghapalkan rumusan tentang baik dan buruk, melainkan harus dibiasakan. Zakiah Darajat mengatakan, moral bukanlah suatu pelajaran yang dapat dicapai dengan mempelajari saja, tanpa membiasakan hidup bermoral dari sejak keci. Moral itu tumbuh dari tindakan kepada pengertian dan tidak sebaliknya. Seperti halnya rumah tangga, sekolahpun dapat mengambil peranan yang penting dalam pembinaan moral anak didik. Hendaknya dapat diusahakan agar sekolah menjadi lapangan baik bagi pertumbuhan dan perkembangan mental dan moral anak didik. Di samping tempat pemberian pengetahuan, pengembangan bakat dan kecerdasan. Dengan kata lain, supaya sekolah merupakan lapangan sosial bagi anak-anak, dimana pertumbuhan mental, moral dan sosial serta segala aspek kepribadian berjalan dengan baik. Untuk menumbuhkan sikap moral yang demikian itu, pendidikan agama diabaikan di sekolah, maka didikan agama yang diterima dirumah tidak akan berkembang, bahkan mungkin terhalang. Selanjutnya masyarakat juga harus mengambil peranan dalam pembinaan moral. Masyarakat yang lebih rusak moralnya perlu segera diperbaiki dan dimulai dari diri sendiri, keluarga dan orang-orang terdekat dengan kita. Karena kerusakan masyarakat itu sangat besar pengaruhnya dalam pembinaan moral anak-anak. Terjadinya kerusakan moral dikalangan pelajar dan generasi muda sebagaimana disebutkan diatas, karena tidak efektifnya keluarga, sekolah dan masyarakat dalam pembinaan moral. Bahkan ketiga lembaga tersebut satu dan lainnya saling bertolak belakang, tidak seirama, dan tidak kondusif bagi pembinaan moral.
3.    Dasarnya harus budaya materialistis, hedonistis dan sekularistis. Sekarang ini sering kita dengar dari radio atau bacaan dari surat kabar tentang anak-anak sekolah menengah yang ditemukan oleh gurunya atau polisi mengantongi obat-obat, gambar-gambar cabul, alat-alat kotrasepsi seperti kondom dan benda-banda tajam. Semua alat-alat tersebut biasanya digunakan untuk hal-hal yang dapat merusak moral. Namun gejala penyimpangan tersebut terjadi karena pola hidup yang semata-mata mengejar kepuasan materi, kesenangan hawa nafsu dan tidak mengindahkan nilai-nilai agama. Timbulnya sikap tersebut tidak bisa dilepaskan dari derasnya arus budaya matrealistis, hedonistis dan sekularistis yang disalurkan melalui tulisan-tulisan, bacaan-bacaan, lukisan-lukisan, siaran-siaran, pertunjukan-pertunjukan dan sebagainya. Penyaluran arus budaya yang demikian itu didukung oleh para penyandang modal yang semata-mata mengeruk keuntungan material dan memanfaatkan kecenderungan para remaja, tanpa memperhatikan dampaknya bagi kerusakan moral. Derasnya arus budaya yang demikian diduga termasuk faktor yang paling besar andilnya dalam menghancurkan moral para remaja dan generasi muda umumnya.
4.    Belum adanya kemauan yang sungguh-sungguh dari pemerintah. Pemerintah yang diketahui memiliki kekuasaan (power), uang, teknologi, sumber daya manusia dan sebagainya tampaknya belum menunjukan kemauan yang sungguh-sunguh untuk melakukan pembinaan moral bangsa. Hal yang demikian semakin diperparah lagi oleh adanya ulah sebagian elit penguasa yang semata-mata mengejar kedudukan, peluang, kekayaan dan sebagainya dengan cara-cara tidak mendidik, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme yang hingga kini belum adanya tanda-tanda untuk hilang. Mereka asik memperebutkan kekuasaan, materi dan sebagainya dengan cara-cara tidak terpuji itu, dengan tidak memperhitungkan dampaknya bagi kerusakan moral bangsa. Bangsa jadi ikut-ikutan, tidak mau mendengarkan lagi apa yang disarankan dan dianjurkan pemerintah, karena secara moral mereka sudah kehilangan daya efektifitasnya. Sikap sebagian elit penguasa yang demikian itu semakin memperparah moral bangsa, dan sudah waktunya dihentikan. Kekuasaan, uang, teknologi dan sumber daya yang dimiliki pemerintah seharusnya digunakan untuk merumuskan konsep pembinaan moral bangsa dan aplikasinya secara bersungguh-sungguh dan berkesinambungan.
Dari pemaparan sebab-sebab diatas, yang menyebabkan timbulnya kemerosotan moral bangsa. Nah bagaimanakah pendidikan kepramukaan dapat dijadikan sebagai pembentukkan karakter pemuda yang bermoral dan berakhlak?
A.                Sejarah Singkat Gerakan Pramuka
Pendidikan Kepramukaan di Indonesia merupakan salah satu segi pendidikan nasional yang penting, yang merupakan bagian dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Untuk itu perlu diketahui sejarah perkembangan Kepramukaan di Indonesia. Gerakan Pramuka Indonesia adalah nama organisasi pendidikan non-formal yang menyelenggarakan pendidikan kepanduan yang dilaksanakan di Indonesia. Kata "Pramuka" merupakan singkatan dari Praja Muda Karana, yang memiliki arti Rakyat Muda yang Suka Berkarya. "Pramuka" merupakan sebutan bagi anggota Gerakan Pramuka, yang meliputi; Pramuka Siaga, Pramuka Penggalang, Pramuka Penegak dan Pramuka Pandega. Kelompok anggota yang lain yaitu Pembina Pramuka, Andalan Pramuka, Korps Pelatih Pramuka, Pamong Saka Pramuka, Staf Kwartir dan Majelis Pembimbing Pramuka. Sedangkan yang dimaksud "Kepramukaan" adalah proses pendidikan di luar lingkungan sekolah dan di luar lingkungan keluarga dalam bentuk kegiatan menarik, menyenangkan, sehat, teratur, terarah, praktis yang dilakukan di alam terbuka dengan Prinsip Dasar Kepramukaan dan Metode Kepramukaan, yang sasaran akhirnya pembentukan watak, akhlak dan budi pekerti luhur. Kepramukaan adalah sistem pendidikan kepanduan yang disesuaikan dengan keadaan, kepentingan dan perkembangan masyarakat dan bangsa Indonesia.
Gerakan Pramuka atau Kepanduan di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1923 yang ditandai dengan didirikannya (Belanda) Nationale Padvinderij Organisatie (NPO) di Bandung. Sedangkan di tahun yang sama, di Jakarta didirikan (Belanda) Jong Indonesische Padvinderij Organisatie (JIPO). Kedua organisasi cikal bakal kepanduan di Indonesia ini meleburkan diri menjadi satu, bernama (Belanda) Indonesische Nationale Padvinderij Organisatie (INPO) di Bandung pada tahun 1926. Pada tanggal 26 Oktober 2010, Dewan Perwakilan Rakyat mengabsahkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka. Berdasarkan UU ini, maka Pramuka bukan lagi satu-satunya organisasi yang boleh menyelenggarakan pendidikan kepramukaan. Organisasi profesi juga diperbolehkan untuk menyelenggarakan kegiatan kepramukaan.
B.                 Tujuan Kepramukaan
Gerakan Pramuka sebagai penyelenggara pendidikan kepanduan Indonesia yang merupakan bagian pendidikan nasional, bertujuan untuk membina kaum muda dalam mencapai sepenuhnya potensi-potensi spiritual, social, intelektual dan fisiknya, agar mereka bisa:
·                      Membentuk, kepribadian dan akhlak mulia kaum muda
·                     Menanamkan semangat kebangsaan, cinta tanah air dan bela negara bagi kaum muda
·                      Meningkatkan keterampilan kaum muda sehingga siap menjadi anggota masyarakat yang bermanfaat, patriot dan pejuang yang tangguh, serta menjadi calon pemimpin bangsa yang handal pada masa depan. Gerakan Pramuka berlandaskan prinsip-prinsip dasar sebagai berikut:
·                      Iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
·                      Peduli terhadap bangsa dan tanah air, sesama hidup dan alam
·                      Peduli terhadap dirinya pribadi
·                      Taat kepada Kode Kehormatan Pramuka.
Unsur didalam pendidikan nonformal adalah pendidikan kepemudaan. Unsur yang ada di dalam pendidikan kepemudaan adalah Gerakan Pramuka.  Dalam UU No. 12 tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka, disebutkan Gerakan Pramuka adalah  organisasi yang dibentuk oleh pramuka untuk menyelenggarakan pendidikan kepramukaan.Gerakan pramuka merupakan wadah pendidikan generasi muda usia 7 – 25 tahun, yang mempersiapkan anggotanya untuk mempunyai karakter bangsa sesuai dengan Dasa Dharma dan Tri Satya.
Tujuan dari Gerakan Pramuka untuk membentuk setiap pramuka agar memiliki kepribadian yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, berjiwa patriotik, taat hukum, disiplin,  menjunjung tinggi nilai-nilai luhur bangsa, dan memiliki kecakapan hidup sebagai kader bangsa, dan memiliki kecakapan hidup sebagai kader bangsa dalam menjaga dan membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia, mengamalkan Pancasila, serta melestarikan lingkungan hidup. Tujuan dari Gerakan Pramuka sejalan dengan fokus pendidikan karakter yang menjadi program utama Kementerian Pendidikan Nasional.
Melihat dari tujuan dan landasan dari Pramuka itu sendiri, kita dapat melihat bahwa pembentukan karakter pemuda dapat terjawab. Berbagai media bisa digunakan untuk pendidikan karakter, namun melalui Kepramukaan semua sudah dirangkum menjadi satu dalam pembentukan sebuah karakter pemuda. Karena dalam Pramuka sudah menjawab pembentukkan karakter ini melalui 10 pilar bernama Dasa Dharma, yaitu
  1. Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
  2. Cinta alam dan kasih sayang sesama manusia.
  3. Patriot yang sopan dan kesatria.
  4. Patuh dan suka bermusyawarah.
  5. Rela menolong dan tabah.
  6. Rajin, terampil dan gembira.
  7. Hemat, cermat dan bersahaja.
  8. Disiplin, berani dan setia.
  9. Bertanggung jawab dan dapat dipercaya
  10. Suci dalam pikiran, perkataan dan perbuatan.
Dalam menanamkan dan menumbuhkan karakter bangsa, dikepramukaan mempergunakan 10 pilar yang  menjadi kode kehormatan. Kode kehormatan mempunyai makna suatu norma (aturan) yang menjadi ukuran kesadaran mengenai akhlak yang tersimpan dalam hati yang menyadari harga dirinya, serta menjadi standart tingkah laku pramuka di masyarakat.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Pendidikan karakter saat ini memang harus segera dilakukan, mengingat perk embangan masyarakat yang  berjalan. Karakter budaya Indonesia yang  sudah dikagumi bangsa lain jangan sampai pupus oleh gesekan mental generasi muda yang lebih menyenangi budaya asing. Namun dengan budaya asing yang masuk ke Indonesia justru menjadi motivasi untuk lebih mencintai budaya bangsa sendiri. Untuk itu pendidikan karakter sudah tidak bisa di tunda lagi. Pramuka telah menjawab bentuk dari pendidikan karakter pemuda yaitu melalui tujuannya, landasannya dan juga melalui 10 pilar pokok yang disebut dengan Dasa Dharma Pramuka. Pramuka mengandung segudang pendidikan karakter baik teori maupun praktek. Melalui Dwi Satya dan Dwi Dharma, Tri Satya dan Dasa Dharma, juga kegiatan berkemah, lomba tingkat, hiking dan lain sebagainya merupakan wujud kongkrit proses pendidikan karakter pemuda. Sudah semestinya Pramuka diajarkan ke Sekolah-sekolah, terutama di Perguruan Tinggi Pamane Talino yang mempunyai misi mencetak para calon-calon guru berkompeten.
DAFTAR PUSTAKA
Magnis, F dan Suseno. (1986). Kuasa dan Moral. Jakarta: Gramedia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar