PENDIDIKAN PEMUDA DAN KEPRAMUKAAN
KATA
PENGANTAR
KONDISI dinamika kebudayaan dan
karakter bangsa kita sekarang kini menjadi pandangan yang tajam oleh
masyarakat. Kondisi itu dapat dilihat dari berbagai aspek kehidupan, yang
tertuang dalam berbagai tulisan di media, wawancara, dan dialog di media
elektronik. Selain di media massa, para pemuka masyarakat, para ahli, pengamat
pendidikan, dan pengamat sosial berbicara mengenai persoalan budaya dan
karakter bangsa di berbagai forum seminar, baik pada tingkat lokal, nasional,
maupun internasional. Persoalan yang muncul di masyarakat seperti korupsi,
kekerasan, kejahatan seksual, perusakan, perkelahian massa, kehidupan ekonomi
yang konsumtif, kehidupan politik yang tidak produktif, dan sebagainya
menjadi topik pembahasan hangat di media massa, seminar, dan di berbagai kesempatan
lainnya. Berbagai alternatif penyelesaian diajukan seperti melalui peraturan,
undang-undang, peningkatan upaya pelaksanaan dan penerapan hukum yang lebih
kuat. Kondisi ini telah memperparah rusaknya karakter pemuda khususnya di
Negara Indonesia. Tingkat degradasi moral dikalangan pemuda semakin hari
semakin meningkat.
Makalah ini ditulis dengan tujuan
untuk mengetahui sampai sejauh mana peran dan kekuatan Pramuka sebagai suatu
badan organisasi nasional untuk membentuk karakter pemuda Indonesia. Selain
itu, penulisan makalah ini juga untuk memenuhi tugas mata kuliah yang diampu
oleh Drs. Heri Usodo, SE, M.Kom. Penulis menyadari bahwa banyak kekurangan dalam
proses penulisan makalah ini, karena sebagai manusia yang tidak luput dari
kekurangan. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun,
demi semakin berisinya penulisan makalah ini.
Ngabang
Penulis
DAFTAR ISI
1.
|
KATA PENGANTAR
|
...............................................................
|
i
|
2.
|
DAFTAR ISI
|
...............................................................
|
ii
|
3.
|
BAB I
PENDAHULUAN
|
...............................................................
|
1 – 2
|
4.
|
BAB II
PERMASALAHAN
|
...............................................................
|
3 – 5
|
5.
|
BAB III
PEMBAHASAN MASALAH
|
...............................................................
|
6 – 11
|
6.
|
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
|
...............................................................
|
12
|
7.
|
DAFTAR PUSTAKA
|
...............................................................
|
13
|
BAB I
PENDAHULUAN
Pemuda
adalah ujung tombak maju atau tidaknya sebuah kehidupan kaum atau sebuah
bangsa. Pemuda adalah harapan dari sebuah perubahan kearah yang lebih maju dan
positif dalam masyarakat. Mengapa pemuda dikatakan sebagai ujung tombak sebuah
perubahan? Pada konteksnya, bahwa pemuda adalah orang-orang muda yang berusia
diantara 18 – 35 tahun, yang memiliki tingkat produktif yang masih tinggi dan
yang juga masih memiliki semangat dan daya juang yang lebih tinggi daripada
orang-orang tua yang berusia diatas 35 tahun. Karena faktor-faktor tersebutlah yang membuat
pemuda bisa dan mampu melakukan apa saja, baik yang bersifat positif maupun
yang bersifat negatif. Pemuda yang memiliki keenergikkan yang lebih tinggi dari
orang tua, memiliki tingkat ide-ide yang lebih cemerlang dan juga memiliki potensi-potensi
yang luar biasa mampu melakukan sebuah perubahan yang luar biasa. Contoh ini
ada pada peristiwa Rengasdengklok. Pemuda menculik Bung Karno dan Bung Hatta
supaya lebih cepat memproklamasikan kemerdekaan Negara Indonesia.
Namun
dewasa ini, sebagian atau bahkan hampir rata-rata kaum muda sudah kehilangan
identitas dan jati dirinya, sebagai bagian dari wajah Negara Indonesia. “Ujung
Tombak” dari masyarakat dan negara semakin hari semakin tumpul dan mulai
memudar warnanya. Konsep pemuda sebagai harapan bangsa kini sudah hampir tidak
bisa lagi muncul dipermukaan. Ini dikarenakan semangat pemuda sudah goyah dan
bahkan mungkin sangat sedikit lagi yang dapat diandalkan. Penulis melihat dan
menemukan banyak sekali degradasi yang dihadapi oleh para pemuda, yang
kesemuanya itu sedikit banyak dipengaruhi oleh globalisasi yang semakin menggila dan melindas
setiap belahan dunia. Globalisasi merupakan koneksi global ekonomi, sosial, budaya dan politik
yang semakin mengarah ke berbagai arah di seluruh penjuru dunia dan merasuk ke
dalam kesadaran kita (Barker, 2004). Dengan memperhatikan opini diatas, penulis
akhirnya berani menarik kesimpulan bahwa pemuda masa sekarang benar-benar telah
kehilangan karakter dan jati diri hidupnya. Yang sudah jelas sekali terkuak
bahwa globalisasi mempengaruhi segala aspek kehidupan pemuda. Mulai dari degradasi
moral yang sukup jauh, gaya hidup Hedonisme dan individualisme yang cukup kuat.
Konsep pemuda sebagai orang-orang yang sarat dengan semangat tinggi dan
produktif untuk memajukan masyarakat, sepertinya sudah memudar.
Nah, dari berbagai sudut inilah penulis mau mengkaji
lebih jauh sampai sejauh mana degradasi ini menimpa pemuda. Dan bagaimanakah
cara untuk mengupayakan pembangunan karakter pemuda saat ini, untuk
mengembalikan makna sesungguhnya dari pemuda itu sendiri.
BAB II
PERMASALAHAN
Tak pelak
lagi, kemodernan zaman telah melindas segala aspek-aspek penting kehidupan
manusia. Perubahan zaman membuat membuat dampak dari berbagai sudut. Dampak ini
bisa yang positif dan bahkan bisa negatif. Dunia modern banyak menawarkan
kemudahan-kemudahan bagi manusia, mulai dari tekhnologi, audio visual maupun
sumber konsumsi manusia. Namun kesemua itu ternyata banyak disalah artikan dan
salah dimanfaatkan. Demikian pula dengan gaya hidup pemuda masa sekarang, yang
kesemuanya banyak dipengaruhi oleh kemudahan-kemudahan itu. Pemuda tidak lagi
berusaha untuk menempa diri menjadi yang terbaik dalam prestasi untuk membangun
masyarakat dan negaranya. Namun berlomba-lomba untuk menampakkan diri dengan
gaya hidup dan penampilan modern. Ada beberapa unsur yang membuat kekrisisan
karakter pemuda dewasa ini yaitu: Degradasi moral dan sikap Hedonisme dari
pemuda.
A.
Degradasi Moral
Sejarah telah membuktikan bahwa pemuda dan pelajar menjadi bagian paling
dominan dalam menentukan perjalanan hidup suatu bangsa, tak terkecuali bagi
Indonesia. Tetapi, berbagai hasil survei tentang pelajar dan mahasiswa telah
memperlihatkan bahwa pelajaran mahasiswa sebagai bagian dari elemen bangsa yang
terpenting telah mengalami degradasi moral. Disebutkan dalam hasil survei
tersebut (di jogjakarta) bahwa hampir 60 % mahasiswi sudah tidak lagi virgin,
hamil di luar nikah, belum lagi yang terlibat kasus narkoba, kenakalan remaja,
dan tawuran antar pelajar/mahasiswa. Ternyata, nilai-nilai susila sudah tidak
lagi menjadi yang utama dalam pandangan kaum muda saat ini. Seiring
efek perkembangan teknologi dan infomasi di zaman globalisasi yang sangat
signifikan dengan perkembangan jiwa generasi muda, hingga kecenderungan
terjerumus ke lembah hitam. 75% dari generasi muda kita sudah terjebak dalam
kehidupan bebas yang penuh dengan gemerlapnya penyebaran, penyelundupan dan
pemakaian narkoba yang perlahan-lahan mengintai dalam proses penghancuran
moralitas pemuda. Perkembangan pornografi dan pornoaksi seiring dengan krisis
moral dalam arus individualisme, hedonisme dan
penyalahgunaan kebebasan mengakibatkan lemahnya suatu bangsa. Terutama generasi
penerusnya. Banyak faktor yang mempengaruhi degradasi nilai dan moral tersebut.
pornografi
dan pornoaksi memiliki tiga akar. Pertama kekosongan moral, yang membuat
manusia mencari kepuasan individual. Kedua, manusia menyalahgunakan kebebasan
tanpa tanggung jawab moral individual dan sosial. Ketiga, sebagai industri
penggarap kelemahan manusia, khususnya kaum muda.
B.
Hedonisme
Menurut Wojowasito
(2002) hedonis berasal dari bahasa Yunani yaitu hedone yang berarti
kesenangan. Hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa kesenangan
dan kenikmatan hidup adalah tujuan utama. Sedangkan Sujanto (Sumartono, 2002)
menjelaskan bahwa gaya hidup hedonis yang berorientasi pada kesenangan umumnya
banyak ditemukan di kalangan remaja. Hal ini karena remaja mulai mencari
identitas diri melalui penggunaan simbol status seperti mobil, pakaian, dan
pemilikan barang-barang lain yang mudah terlihat.Gaya hidup hedonis merupakan
wujud ekspresi perilaku eksperimental yang dimiliki oleh remaja untuk mencoba
suatu hal yang baru. Perilaku eksperimental tersebut masih dipandang wajar
apabila tidak memunculkan pola perilaku yang lebih dominan pada kesenangan
hidup daripada kegiatan belajar. Hedonisme sebagai fenomena dan gaya hidup
sudah tercermin dari perilaku remaja sehari-hari. Mayoritas pelajar berlomba
dan bermimpi untuk bisa hidup mewah, berfoya-foya di kafe, mall, atau plaza.
Ini merupakan bagian dari agenda hidup yang kemudian melupakan tugas utamanya
belajar. Gaya hidup selalu mengalami perubahan seiring perkembangan zaman.
Kehidupan yang semakin modern membawa manusia pada pola perilaku yang unik,
yang membedakan individu satu dengan individu lain dalam persoalan gaya hidup.
Bagi sebagian orang gaya hidup merupakan suatu hal yang penting karena dianggap
sebagai sebuah bentuk ekspresi diri. Chaney (1996), berpendapat bahwa gaya
hidup merupakan ciri sebuah dunia modern. Gaya hidup merupakan pola-pola
tindakan yang membedakan antara satu orang dengan orang lain, yang berfungsi
dalam interaksi dengan cara-cara yang mungkin tidak dapat dipahami oleh yang
tidak hidup dalam masyarakat modern. Pada perkembangannya, gaya hidup saat ini
tidak lagi merupakan persoalan di kalangan tertentu. Sebagaimana diungkapkan
oleh Ibrahim (1997), setiap orang dapat mudah meniru gaya hidup yang disukai.
Misalnya saja, gaya hidup yang ditawarkan melalui iklan akan menjadi lebih
beraneka ragam dan umumnya dapat dilihat oleh semua orang sehingga mudah ditiru
oleh setiap orang. Fenomena gaya hidup tampak terlihat di kalangan remaja,
menurut Monks, dkk (Nashori, 1998) remaja memang menginginkan agar penampilan,
gaya tingkah laku, cara bersikap, dan lain-lainnya akan menarik perhatian orang
lain, terutama kelompok teman sebaya. Remaja ingin diakui eksistensinya oleh
lingkungan sosial sehingga berusaha untuk mengikuti perkembangan yang terjadi
seperti cara berpenampilan. Kebutuhan untuk diterima dan menjadi sama dengan
orang lain atau kelompok teman sebaya menyebabkan remaja berusaha untuk
mengikuti berbagai atribut yang sedang tren, misalnya saja pemilihan model
pakaian dengan merek terkenal, penggunaan telepon genggam (HP) dengan fasilitas
layanan terbaru, berbelanja di pusat perbelanjaan terkenal seperti mall
daripada berbelanja di pasar tradisional atau sekedar jalan-jalan untuk mengisi
waktu luang bersama kelompok teman sebaya dan sebagainya. Gaya hidup hedonis
merupakan wujud dari ekspresi dari perilaku eksperimental yang dimiliki oleh
remaja untuk mencoba suatu hal yang baru. Perilaku eksperimental tersebut masih
dipandang wajar apabila tidak memunculkan pola perilaku yang lebih dominan pada
kesenangan hidup dari pada kegiatan belajar. Hedonisme sebagai fenomena dan
gaya hidup sudah tercermin dari perilaku mereka sehari-hari. Mayoritas pelajar
berlomba dan bermimpi untuk bisa hidup mewah. Berfoya-foya dan nongkrong di
kafe, mall dan plaza. Ini merupakan bagian dari agenda hidup mereka. Nah, dari
pemaparan-pemaparan diatas sudah jelas bahwa pemudalah yang cenderung mengarahkan
gaya hidupnya pada kenikmatan dan kesenangan. Fokus pemuda saat ini, lebih
banyak mengarah pada pemuasan diri yang bersifat modern. Tidak lagi
mempertimbangkan baik dan buruknya, melalaikan kewajiban dan tanggung jawab
sebagai harapan bangsa.
BAB III
PEMBAHASAN MASALAH
Degradasi
moralitas cenderung menyerang para pemuda yang notabene sebagai ujung tombak
pembaharuan dan kemajuan suatu bangsa. Semua disebabkan oleh dunia yang semakin
hari makin sarat dengan perkembangan, baik dari informatika maupunn tekhnologi.
Dewasa ini, nilai-nilai moralitas sudah tidak lagi dijunjung sesuai dengan
budaya dan adat istiadat Timur, yang mengajarkan dan mengutamakan nilai-nilai
moral dan nilai-nilai perilaku. Pemuda
Indonesia sudah jauh terbawa dalam kemodernan yang kerap kali menawarkan
kemudahan-kemudahan dan kenikmatan duniawi. Beberapa faktor yang menjadi dasar
degradasi ini adalah:
1. Longgarnya
pegangan terhadap agama. Sudah menjadi tragedi dari dunia maju, dimana segala sesuatu hampir
dapat dicapai dengan ilmu pengetahuan, sehingga keyakinan beragam mulai
terdesak, kepercayaan kepada Tuhan tinggal simbol, larangan-larangan dan
suruhan-suruhan Tuhan tidak
diindahkan lagi. Dengan longgarnya pegangan seseorang pada ajaran agama, maka hilanglah kekuatan pengontrol
yang ada didalam dirinya. Dengan demikian,
satu-satunya
alat pengawas dan pengatur moral yang dimilikinya adalah masyarakat dengan
hukum dan peraturanya. Namun biasanya pengawasan masyarakat itu tidak sekuat
pengawasan dari dalam diri sendiri. Karena pengawasan
masyarakat itu datang dari luar, jika orang luar tidak tahu, atau tidak ada
orang yang disangka akan mengetahuinya, maka dengan
senang hati orang itu akan berani melanggar peraturan-peraturan dan hukum-hukum
sosial itu. Dan apabila dalam masyarakat itu banyak orang yang melakukuan pelanggaran moral, dengan sendirinya
orang yang kurang iman tadi
akan mudah pula meniru melakukan
pelanggaran-pelanggaran yang sama. Tetapi jika setiap orang teguh keyakinannya
kepada Tuhan serta menjalankan agama dengan sungguh-sungguh, tidak perlu lagi
adanya pengawasan yang ketat, karena setiap orang sudah dapat menjaga dirinya
sendiri, tidak mau melanggar hukum-hukum dan ketentuan-ketentuan Tuhan.
Sebaliknya dengan semakin jauhnya masyarakat dari agama, semakin susah memelihara moral orang dalam masyarakat itu, dan
semakin kacaulah suasana, karena semakin banyak pelanggaran-pelanggaran hak,
hukum dan nilai moral.
2. Kurang
efektifnya pembinaan moral yang dilakukan oleh rumah tangga, sekolah maupun masyarakat. Pembinaan moral
yang dilakukan oleh ketiga institusi ini tidak berjalan menurut semestinya atau yang sebiasanya. Pembinaan moral dirumah
tangga misalnya harus dilakukan dari sejak anak masih kecil, sesuai dengan
kemampuan dan umurnya. Karena setiap anak lahir, belum mengerti mana yang benar dan mana
yang salah, dan belum tahu batas-batas dan ketentuan moral yang tidak berlaku dalam lingkungannya. Tanpa dibiasakan
menanamkan sikap yang dianggap baik untuk menumbuhkan moral,
anak-anak akan dibesarkan tanpa mengenal moral itu.
Pembinaan moral pada anak dirumah tangga bukan dengan cara
menyuruh anak menghapalkan rumusan tentang baik dan buruk, melainkan harus
dibiasakan. Zakiah Darajat mengatakan, moral
bukanlah suatu pelajaran yang dapat dicapai dengan mempelajari saja, tanpa
membiasakan hidup bermoral dari sejak keci. Moral itu tumbuh dari tindakan
kepada pengertian dan tidak sebaliknya. Seperti halnya rumah tangga, sekolahpun
dapat mengambil peranan yang penting dalam pembinaan moral anak didik.
Hendaknya dapat diusahakan agar sekolah menjadi lapangan baik bagi pertumbuhan dan perkembangan mental dan moral anak didik. Di
samping tempat pemberian pengetahuan, pengembangan bakat dan kecerdasan. Dengan
kata lain, supaya sekolah merupakan lapangan sosial
bagi anak-anak, dimana pertumbuhan mental, moral dan
sosial serta segala aspek kepribadian berjalan dengan baik. Untuk menumbuhkan
sikap moral yang demikian itu, pendidikan agama diabaikan di sekolah, maka
didikan agama yang diterima dirumah tidak akan
berkembang, bahkan mungkin terhalang. Selanjutnya masyarakat juga harus
mengambil peranan dalam pembinaan moral. Masyarakat yang lebih rusak moralnya perlu
segera diperbaiki dan dimulai dari diri sendiri, keluarga dan orang-orang
terdekat dengan kita. Karena kerusakan masyarakat itu sangat besar pengaruhnya
dalam pembinaan moral anak-anak. Terjadinya kerusakan moral dikalangan pelajar
dan generasi muda sebagaimana disebutkan diatas, karena tidak efektifnya
keluarga, sekolah dan masyarakat dalam pembinaan moral. Bahkan ketiga lembaga
tersebut satu dan lainnya saling bertolak belakang, tidak seirama, dan tidak
kondusif bagi pembinaan moral.
3. Dasarnya harus
budaya materialistis, hedonistis dan sekularistis. Sekarang ini sering kita
dengar dari radio atau bacaan dari surat kabar tentang
anak-anak sekolah menengah yang ditemukan oleh gurunya atau polisi mengantongi
obat-obat, gambar-gambar cabul, alat-alat kotrasepsi seperti kondom dan
benda-banda tajam. Semua alat-alat tersebut biasanya digunakan untuk hal-hal
yang dapat merusak moral. Namun gejala
penyimpangan tersebut terjadi karena pola hidup yang semata-mata mengejar
kepuasan materi, kesenangan hawa nafsu dan tidak mengindahkan nilai-nilai
agama. Timbulnya sikap tersebut tidak bisa dilepaskan dari derasnya arus budaya
matrealistis, hedonistis dan sekularistis yang disalurkan melalui
tulisan-tulisan, bacaan-bacaan,
lukisan-lukisan, siaran-siaran, pertunjukan-pertunjukan dan sebagainya.
Penyaluran arus budaya yang demikian itu didukung oleh para penyandang modal
yang semata-mata mengeruk keuntungan material dan memanfaatkan kecenderungan
para remaja, tanpa memperhatikan dampaknya bagi kerusakan moral. Derasnya arus
budaya yang demikian diduga termasuk faktor yang paling besar andilnya dalam
menghancurkan moral para remaja dan generasi muda umumnya.
4. Belum adanya kemauan
yang sungguh-sungguh dari pemerintah. Pemerintah yang diketahui memiliki
kekuasaan (power), uang, teknologi, sumber daya manusia dan sebagainya
tampaknya belum menunjukan kemauan yang sungguh-sunguh untuk melakukan pembinaan moral bangsa. Hal yang demikian semakin
diperparah lagi oleh adanya ulah sebagian elit penguasa yang semata-mata
mengejar kedudukan, peluang, kekayaan dan sebagainya dengan cara-cara tidak
mendidik, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme yang hingga kini belum adanya
tanda-tanda untuk hilang. Mereka asik memperebutkan kekuasaan, materi dan sebagainya dengan cara-cara tidak terpuji itu,
dengan tidak memperhitungkan dampaknya bagi kerusakan moral bangsa. Bangsa jadi
ikut-ikutan, tidak mau mendengarkan lagi apa yang
disarankan dan dianjurkan pemerintah, karena secara moral mereka sudah kehilangan daya efektifitasnya. Sikap sebagian elit
penguasa yang demikian itu semakin memperparah moral bangsa, dan sudah waktunya
dihentikan. Kekuasaan, uang, teknologi dan sumber daya yang dimiliki pemerintah
seharusnya digunakan untuk merumuskan konsep pembinaan moral bangsa dan
aplikasinya secara bersungguh-sungguh dan berkesinambungan.
Dari pemaparan sebab-sebab diatas, yang menyebabkan
timbulnya kemerosotan moral bangsa.
Nah bagaimanakah pendidikan kepramukaan dapat dijadikan sebagai pembentukkan
karakter pemuda yang bermoral dan berakhlak?
A.
Sejarah Singkat Gerakan Pramuka
Pendidikan Kepramukaan di Indonesia merupakan salah satu segi
pendidikan nasional yang penting, yang merupakan bagian dari sejarah perjuangan
bangsa Indonesia. Untuk itu perlu diketahui sejarah perkembangan Kepramukaan di
Indonesia. Gerakan Pramuka Indonesia adalah nama organisasi
pendidikan non-formal yang menyelenggarakan pendidikan kepanduan
yang dilaksanakan di Indonesia. Kata "Pramuka"
merupakan singkatan dari Praja Muda Karana, yang memiliki arti Rakyat Muda yang
Suka Berkarya. "Pramuka" merupakan sebutan bagi anggota Gerakan Pramuka, yang meliputi; Pramuka
Siaga, Pramuka Penggalang, Pramuka
Penegak dan Pramuka Pandega. Kelompok anggota yang lain yaitu Pembina
Pramuka, Andalan Pramuka, Korps Pelatih Pramuka,
Pamong Saka Pramuka, Staf Kwartir dan Majelis Pembimbing
Pramuka. Sedangkan yang dimaksud "Kepramukaan" adalah
proses pendidikan di luar lingkungan sekolah dan di
luar lingkungan keluarga
dalam bentuk kegiatan menarik, menyenangkan, sehat, teratur, terarah, praktis
yang dilakukan di alam terbuka dengan Prinsip Dasar
Kepramukaan dan Metode Kepramukaan, yang sasaran akhirnya
pembentukan watak, akhlak dan budi pekerti luhur. Kepramukaan adalah sistem
pendidikan kepanduan yang disesuaikan dengan keadaan, kepentingan dan
perkembangan masyarakat dan bangsa Indonesia.
Gerakan Pramuka atau Kepanduan di Indonesia
telah dimulai sejak tahun 1923 yang ditandai dengan didirikannya (Belanda) Nationale Padvinderij
Organisatie (NPO) di Bandung.
Sedangkan di tahun yang sama, di Jakarta didirikan (Belanda) Jong Indonesische
Padvinderij Organisatie (JIPO).
Kedua organisasi cikal bakal kepanduan di Indonesia ini
meleburkan diri menjadi satu, bernama (Belanda) Indonesische
Nationale Padvinderij Organisatie (INPO) di Bandung pada
tahun 1926. Pada
tanggal 26
Oktober 2010, Dewan Perwakilan Rakyat mengabsahkan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka. Berdasarkan UU ini,
maka Pramuka bukan lagi satu-satunya organisasi yang boleh menyelenggarakan
pendidikan kepramukaan. Organisasi profesi juga diperbolehkan untuk
menyelenggarakan kegiatan kepramukaan.
B.
Tujuan
Kepramukaan
Gerakan Pramuka sebagai
penyelenggara pendidikan kepanduan Indonesia yang merupakan bagian pendidikan
nasional, bertujuan untuk membina kaum muda dalam mencapai sepenuhnya
potensi-potensi spiritual, social, intelektual dan fisiknya, agar mereka bisa:
·
Membentuk, kepribadian dan akhlak mulia kaum muda
·
Menanamkan semangat kebangsaan, cinta tanah air dan
bela negara bagi kaum muda
·
Meningkatkan keterampilan kaum muda sehingga siap
menjadi anggota masyarakat yang bermanfaat, patriot dan pejuang yang tangguh,
serta menjadi calon pemimpin bangsa yang handal pada masa depan. Gerakan
Pramuka berlandaskan prinsip-prinsip dasar sebagai berikut:
·
Iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
·
Peduli terhadap bangsa dan tanah air, sesama hidup dan
alam
·
Peduli terhadap dirinya pribadi
·
Taat kepada Kode Kehormatan Pramuka.
Unsur
didalam pendidikan nonformal adalah pendidikan kepemudaan. Unsur yang ada di
dalam pendidikan kepemudaan adalah Gerakan Pramuka. Dalam UU No. 12 tahun
2010 tentang Gerakan Pramuka, disebutkan Gerakan Pramuka adalah
organisasi yang dibentuk oleh pramuka untuk menyelenggarakan pendidikan
kepramukaan.Gerakan pramuka merupakan wadah pendidikan generasi muda usia 7 –
25 tahun, yang mempersiapkan anggotanya untuk mempunyai karakter bangsa sesuai
dengan Dasa Dharma dan Tri Satya.
Tujuan dari
Gerakan Pramuka untuk membentuk setiap pramuka agar memiliki kepribadian yang
beriman, bertakwa, berakhlak mulia, berjiwa patriotik, taat hukum,
disiplin, menjunjung tinggi nilai-nilai luhur bangsa, dan memiliki
kecakapan hidup sebagai kader bangsa, dan memiliki kecakapan hidup sebagai
kader bangsa dalam menjaga dan membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia,
mengamalkan Pancasila, serta melestarikan lingkungan hidup. Tujuan dari Gerakan
Pramuka sejalan dengan fokus pendidikan karakter yang menjadi program utama
Kementerian Pendidikan Nasional.
Melihat
dari tujuan dan landasan dari Pramuka itu sendiri, kita dapat melihat bahwa
pembentukan karakter pemuda dapat terjawab. Berbagai media bisa digunakan untuk
pendidikan karakter, namun melalui Kepramukaan semua sudah dirangkum menjadi
satu dalam pembentukan sebuah karakter pemuda. Karena dalam Pramuka sudah
menjawab pembentukkan karakter ini melalui 10 pilar bernama Dasa Dharma, yaitu
- Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
- Cinta alam dan kasih sayang sesama manusia.
- Patriot yang sopan dan kesatria.
- Patuh dan suka bermusyawarah.
- Rela menolong dan tabah.
- Rajin, terampil dan gembira.
- Hemat, cermat dan bersahaja.
- Disiplin, berani dan setia.
- Bertanggung jawab dan dapat dipercaya
- Suci dalam pikiran, perkataan dan perbuatan.
Dalam
menanamkan dan menumbuhkan karakter bangsa, dikepramukaan mempergunakan 10
pilar yang menjadi kode kehormatan. Kode kehormatan mempunyai makna suatu
norma (aturan) yang menjadi ukuran kesadaran mengenai akhlak yang tersimpan
dalam hati yang menyadari harga dirinya, serta menjadi standart tingkah laku
pramuka di masyarakat.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Pendidikan
karakter saat ini memang harus segera dilakukan, mengingat perk embangan
masyarakat yang berjalan. Karakter budaya Indonesia yang sudah
dikagumi bangsa lain jangan sampai pupus oleh gesekan mental generasi muda yang
lebih menyenangi budaya asing. Namun dengan budaya asing yang masuk ke
Indonesia justru menjadi motivasi untuk lebih mencintai budaya bangsa sendiri.
Untuk itu pendidikan karakter sudah tidak bisa di tunda lagi. Pramuka telah
menjawab bentuk dari pendidikan karakter pemuda yaitu melalui tujuannya,
landasannya dan juga melalui 10 pilar pokok yang disebut dengan Dasa Dharma
Pramuka. Pramuka mengandung segudang pendidikan karakter baik teori maupun
praktek. Melalui Dwi Satya dan Dwi Dharma, Tri Satya dan Dasa Dharma, juga
kegiatan berkemah, lomba tingkat, hiking dan lain sebagainya merupakan wujud
kongkrit proses pendidikan karakter pemuda. Sudah semestinya Pramuka diajarkan
ke Sekolah-sekolah, terutama di Perguruan Tinggi Pamane Talino yang mempunyai
misi mencetak para calon-calon guru berkompeten.
DAFTAR PUSTAKA
Magnis, F
dan Suseno. (1986). Kuasa dan Moral. Jakarta: Gramedia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar